Pendampingan Keluarga
PENGANTAR
Bersama dan atas nama Kristus, Sang Gembala yang sesungguhnya, para imam dan para tokoh awam dipanggil dan diutus untuk mendampingi umat beriman, berdasarkan ajaran dan teladan Kristus, Sang Gembala itu.
Pendampingan bagi umat beriman itu dapat dilaksanakan secara intensif di tingkat paroki, wilayah, maupun lingkungan. Bahkan, usaha pendampingan itu juga dapat dilaksanakan di tingkat yang lebih sempit dan lebih mendasar, yakni di rumah, bagi masing-masing keluarga.
Dalam kerja sama dengan Komisi Pendampingan Keluarga di tingkat keuskupan dan kevikepan, para pastor dan para tokoh awam diharap mendampingi keluarga-keluarga di tingkat paroki, wilayah, maupun lingkungan, terutama dengan memperhatikan : pendampingan bagi orang-orang muda yang kiranya terpanggil untuk hidup berkeluarga; pendampingan bagi keluarga-keluarga yang berada dalam kondisi biasa; dan pendampingan bagi keluarga-keluarga yang sedang berada dalam kondisi khusus.
Tema-tema pokok yang dibahas pada halaman-halaman berikut adalah : Prinsip-prinsip dasar; Ruang lingkup dan metode; Fokus perhatian; dan Pengarahan pimpinan Gereja.
Penyusun
I. PRINSIP-PRINSIP DASAR
A. Pengertian Pokok
Yang dimaksud dengan pendampingan keluarga dalam uraian ini adalah pendampingan bagi keluarga katolik. Pendampingan tersebut terutama didasarkan pada iman dan moral katolik, bukan pada ilmu psikologi, meskipun setiap pendamping keluarga diharap sungguh-sungguh memperhatikan aspek-aspek psikis dari keluarga yang didampinginya.
B. Tujuan Pokok
Tujuan pokok dari pendampingan keluarga adalah tercapainya kesejahteraan dan berkembangnya iman dalam keluarga yang didampingi.
Dalam konteks ini, kesejahteraan maupun iman perlulah dipahami dalam artinya yang paling luas. Kesejahteraan janganlah dipahami sebagai kemakmuran ekonomis belaka. Sementara itu, iman janganlah dipahami sebagai doa-doa dan ibadat belaka.
Dalam artinya yang paling luas itu, kesejahteraan meliputi aspek-aspek fisik, mental, sosial, moral dan spiritual. Dalam Kitab Suci, kesejahteraan itu disebut shalom, atau damai sejahtera. Sementara itu, iman sejati meliputi aspek-aspek pengetahuan, pengungkapan, perayaan, pengamalan, pewartaan, kesaksian, dan persaudaraan dengan saudara-saudara seiman.
C. Penanggungjawab
Karena para pastor paroki adalah imam-imam yang ditugaskan oleh bapak Uskup untuk menggembalakan umat di paroki, para pastor paroki itulah para penanggungjawab utama dari semua karya pendampingan pastoral bagi seluruh umat katolik di paroki.
Namun, mengingat tanggungjawab mereka yang sangat luas, para pastor paroki sebaiknya melibatkan beberapa tokoh awam untuk ikut memikul tanggungjawab tersebut. Para pastor paroki dan tokoh-tokoh awam itu, yang berhimpun dalam wadah yang biasa disebut Dewan Paroki, diharap bertindak terutama sebagai policy maker atau pembuat kebijakan.
Untuk menyelenggarakan dan meng-koordinasi-kan berbagai karya pendampingan bagi keluarga-keluarga katolik di paroki, sebaiknya Dewan Paroki membentuk sebuah tim kerja yang khusus, yang sebaiknya disebut Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP). Dalam tim tersebut perlulah dilibatkan beberapa orang yang dipandang cakap untuk tugas luhur itu. Tim tersebut sebaiknya merupakan bagian integral dari Dewan Paroki, supaya karya-karyanya sejalan dengan karya-karya dari tim-tim pastoral yang lain.
D. Pelaksana
Di samping para penanggungjawab, yakni para anggota Dewan Paroki dan Tim Kerja Pendampingan Keluarga Paroki (TKPKP), diperlukan keterlibatan banyak orang lain yang bersedia untuk ikut melaksanakan pendampingan nyata bagi keluarga-keluarga katolik di paroki, sebab jumlah keluarga katolik di setiap paroki itu sangatlah besar.
Yang dapat dilibatkan dalam pendampingan keluarga adalah tokoh-tokoh awam yang perkawinan dan hidup keluarganya cukup baik, biarawan-biarawati yang punya bekal dan minat pada pendampingan keluarga, dan para profesional katolik (seperti dokter, bidan, perawat, ahli hukum, psikolog, dan sebagainya) yang bersedia membantu keluarga-keluarga katolik, yang membutuhkan pertolongan profesional mereka.
Dalam pelaksanaan karya pendampingan bagi keluarga-keluarga katolik itu sebaiknya dilibatkan juga kelompok-kelompok peduli keluarga, seperti ME (Marriage Encounter), CFC (Couples For Christ), gerakan Pro-Life, Jaringan Mitra Perempuan (JMP), Forum Refleksi Gender (FRG), Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Ibu-Ibu paroki, dan lembaga-lembaga bantuan hukum bagi keluarga.
Bekal yang harus dimiliki oleh para pendamping keluarga ialah : iman katolik yang memadai, kesediaan membantu orang-orang lain dengan tulus dan sabar, kemampuan menyimpan rahasia, dan kesediaan untuk tetap belajar, baik dari pengalaman maupun dari sumber-sumber pengetahuan yang lain.
E. Titik Tolak dan Sasaran
Pendampingan tidaklah hanya berarti kesediaan berjalan bersama mereka yang didampingi. Pendampingan haruslah punya titik tolak dan sasaran yang jelas. Titik tolaknya adalah realitas, kondisi keluarga yang nyata saat ini. Sementara itu, sasarannya adalah kenyataan baru, yang lebih sesuai dengan ajaran dan teladan Kristus, lebih sesuai dengan harapan dan cita-cita Gereja katolik.
Dengan perkataan lain, ada dua hal yang pertama-tama harus dipahami oleh para penanggungjawab dan para pelaksana pendampingan bagi keluarga-keluarga katolik, yakni : realitas yang ada pada keluarga-keluarga sekarang ini, dan idealisme katolik mengenai perkawinan dan hidup berkeluarga.
Selanjutnya, para pendamping keluarga dipanggil dan diutus mencari dan menemukan cara-cara yang tepat untuk mendampingi keluarga-keluarga katolik, agar keluarga-keluarga itu mau dan mampu bergerak maju, dari kenyataan yang sudah ada menuju kenyataan baru, yang lebih sesuai dengan harapan dan cita-cita Gereja katolik.
Gerak maju tersebut bisa saja merupakan suatu perjalanan yang tidak pernah selesai. Oleh karena itu, dari para pendamping maupun keluarga-keluarga yang didampingi dituntut kesabaran, ketekunan, dan kesediaan bekerjasama. Di samping itu, tentu saja, semua pihak diharap rajin memohon rahmat dan berkat Tuhan, yang akan melengkapi dan menyempurnakan apa saja yang kurang dalam diri mereka.
Berhubungan dengan realitas yang ada sekarang ini, satu hal penting perlu disadari dan diperhatikan, yakni besarnya pengaruh globalisasi di tingkat internasional dan reformasi di tingkat nasional atas pasangan-pasangan suami-istri dan keluarga-keluarga di paroki kita.
II. RUANG LINGKUP DAN METODE
A. Persiapan Perkawinan
Perkawinan dan hidup berkeluarga perlu dipersiapkan dengan baik dan secara bertahap, yakni dalam tiga tahap yang berurutan sebagai berikut.
1. Persiapan jauh :
Persiapan jauh selambat-lambatnya dimulai sejak awal usia remaja. Anak-anak remaja, sejak berusia sekitar 12 tahun, perlu diberi pendidikan yang baik di bidang seksualitas. Mereka perlu dibantu untuk memahami kepriaan atau kewanitaan mereka, agar mereka dapat menerima seksualitas mereka dengan penuh rasa syukur. Mereka juga perlu dibantu untuk memahami dan mengolah secara bijaksana pengalaman seksual dan rasa tertarik kepada jenis kelamin lain.
2. Persiapan dekat :
Persiapan dekat selambat-lambatnya dimulai sejak awal masa pacaran. Pemuda atau pemudi yang sudah punya pacar perlu didampingi secara intensif, agar mereka dapat berpacaran secara bijaksana. Artinya : berpacaran dengan kasih sayang yang murni, berpacaran secara etis dan sopan. Mereka perlu disadarkan, bahwa perkawinan tidak cukup hanya disiapkan dengan berpacaran, melainkan juga dengan merintis pekerjaan dan kedewasaan pribadi. Hidup berkeluarga juga membutuhkan biaya, tidak hanya kasih mesra. Pendampingan semacam itu lebih mendesak sifatnya, bila pemuda atau pemudi katolik berpacaran dengan pemudi atau pemuda yang tidak katolik.
3. Persiapan akhir :
Persiapan akhir selambat-lambatnya dilaksanakan dalam beberapa minggu sebelum pernikahan. Dalam waktu yang relatif pendek itu para calon mempelai hendaknya dibantu mempersiapkan pernikahan mereka dengan baik, sekurang-kurangnya dengan menjalani penyelidikan kanonik, mengikuti kursus persiapan perkawinan, dan mempersiapkan liturgi pernikahan yang mengesankan.
B. Pendampingan Keluarga Dalam Kondisi Biasa
1. Tujuan pendampingan :
Pendampingan bagi keluarga-keluarga yang berada dalam kondisi biasa terutama dimaksud untuk : menyemangati suami-istri dalam usaha mencapai kesejahteraan keluarga; mendukung mereka dalam menghayati perkawinan mereka secara kristiani; dan membantu mereka dalam mendidik anak-anak mereka secara kristiani .
2. Metode pendampingan :
a. Pendampingan secara personal : Cara pertama untuk mendampingi keluarga-keluarga dalam kondisi biasa ialah dengan mengunjungi keluarga-keluarga tersebut di tempat tinggal mereka. Demi keberhasilan kunjungan-kunjungan tersebut, para pendamping keluarga perlu dibekali dengan pedoman-pedoman yang memadai dan dilatih dengan cara tertentu, sehingga mereka mampu mengunjungi keluarga-keluarga katolik dengan semangat Kristus, Sang Gembala.
b. Pendampingan timbal-balik : Cara kedua yang kiranya dapat dikembangkan ialah pendampingan secara timbal-balik, yang terjadi melalui paguyuban-paguyuban suami-istri katolik, seperti misalnya paguyuban-paguyuban suami-istri ME (Marriage Encounter) atau CFC (Couples For Christ). Melalui paguyuban-paguyuban semacam itu, para suami-istri katolik mau dan mampu saling mendampingi.
c. Pendampingan secara massal : Cara ketiga untuk mendampingi keluarga-keluarga adalah pendampingan dalam kelompok besar, misalnya melalui ceramah, diskusi, seminar, rekoleksi, retret, dan sebagainya. Demi berhasilnya acara-acara itu, perlu dipilih para nara sumber yang kompeten dan tema-tema yang aktual dan relevan.
C. Pendampingan Keluarga Dalam Kondisi Khusus
1. Konseling :
Keluarga yang sedang berada dalam kondisi sulit dapat didampingi melalui suatu cara yang biasa disebut : konseling pastoral. Bila kesulitan itu belum terlalu rumit, konseling itu dapat dilaksanakan oleh penasihat yang trampil (yang cukup berpengalaman, walaupun tidak profesional). Bila penasihat trampil ternyata tidak mampu menolong, keluarga tersebut dapat dirujuk kepada seorang konselor profesional.
2. Pengesahan perkawinan :
Bila status yuridis dari perkawinan suami-istri yang didampingi, menurut hukum gereja katolik, belum sah, pendampingan sebaiknya memuat usaha ke arah pengesahan perkawinan mereka, dengan atau tanpa pembaharuan janji-nikah, sesuai dengan kemungkinan yang ada.
3. Rehabilitasi pastoral :
Bila perkawinan pasangan suami-istri yang didampingi tidak dapat atau sangat sulit disahkan, pendampingan dapat memuat usaha ke arah rehabilitasi pastoral, misalnya agar Panitia Pastoral Perkawinan di tingkat keuskupan mengijinkan pihak katolik menerima komuni lagi, meskipun perkawinannya belum dapat disahkan menurut hukum gereja katolik.
4. Pembatalan perkawinan :
Bila pasangan suami-istri yang didampingi tidak mampu meneruskan hidup-bersama, lagi pula perkawinan mereka memang belum sah, pendampingan dapat memuat usaha ke arah pembatalan perkawinan mereka, melalui Tribunal atau Pengadilan Gereja di tingkat keuskupan.
5. Pendampingan bagi yang sudah bercerai :
Bila orang yang didampingi sudah bercerai di luar Gereja katolik, ia perlu mendapat perhatian khusus. Bila ia tidak menikah lagi, di luar Gereja, janganlah ia dilarang menerima komuni kudus.
III. FOKUS PERHATIAN
A. Relasi antara suami dan istri
Relasi suami dan istri merupakan relasi terpenting dalam keluarga. Mutu relasi itu punya pengaruh yang sangat besar terhadap mutu seluruh hidup keluarga. Maka pantaslah kalau para pendamping keluarga memperhatikan hal ini.
Relasi suami dan istri itu memuat beberapa segi. Segi pertama adalah relasi pada tingkat perasaan. Apakah mereka merasa dekat satu sama lain? Apakah mereka merasa bahagia bila sedang berbicara, bepergian bersama, atau makan minum berdua? Atau sebaliknya, mereka justru merasa jauh satu sama lain dan merasa tidak senang bila sedang berdekatan?
Segi kedua adalah relasi pada tingkat pikiran atau pandangan. Apakah mereka dapat bertukar pikiran dengan tenang, dengan argumentasi yang masuk akal? Apakah sebaliknya, mereka tidak pernah bertukar pikiran karena keduanya serba berbeda dalam pandangan mereka?
Segi ketiga adalah relasi pada tingkat kehendak atau kemauan. Apakah mereka dapat memadukan kehendak mereka, sehingga mereka dapat merencanakan dan melaksanakan kehendak bersama? Apakah sebaliknya, kehendak mereka selalu berbeda sehingga tidak pernah dapat dipersatukan?
Segi keempat adalah relasi seksual, baik yang terungkap melalui persetubuhan maupun yang terungkap melalui bentuk-bentuk kemesraan fisik lainnya. Apakah mereka dapat saling membahagiakan melalui kemesraan seksual itu, karena masing-masing selalu peka dan peduli terhadap kebutuhan pasangannya? Ataukah sebaliknya, setiap persetubuhan maupun kemesraan fisik lainnya hanyalah menyenangkan satu pihak saja dan menyebabkan penderitaan pada pasangannya?
B. Relasi antara orangtua dan anak-anak
Meskipun relasi suami dan istri pada umumnya baik, keduanya toh sulit mencapai kebahagiaan bila relasi mereka dengan anak-anak terganggu. Maka, demi utuhnya kebahagiaan mereka, suami dan istri membutuhkan relasi yang baik dengan anak-anak mereka. Seperti halnya pada relasi antara suami dan istri, relasi antara orangtua dan anak-anak juga memuat beberapa segi, yakni segi perasaan, segi pikiran, dan segi kehendak atau kemauan.
Segi pertama adalah relasi pada tingkat perasaan. Tidaklah cukup bahwa anak-anak diberi makanan, minuman, dan pakaian yang memadai. Mereka ingin merasa dekat dengan orang tua. Mereka ingin merasakan dilindungi dan disayangi oleh bapak-ibu mereka. Sebaliknya, orang tua pun ingin dihargai dan dipercaya oleh anak-anak mereka.
Segi kedua adalah relasi pada tingkat pikiran. Hal ini terutama penting bila anak-anak sudah mulai mampu berpikir. Mereka hendaknya sering diajak bertukar pikiran. Janganlah mereka itu diperlakukan seolah-olah mereka tidak mampu berpikir. Maka, bila ada perbedaan pandangan antara anak-anak dan orang tua, semua pihak hendaknya bersikap rasional, tidak hanya mencari kemenangan.
Segi ketiga adalah relasi pada tingkat kehendak atau kemauan. Tidak jarang terjadi bahwa orang tua memaksakan kehendak pada anak-anak mereka, karena merasa lebih tua dan lebih berpengalaman. Hal itu dapat terjadi karena orang tua kurang memahami kebutuhan dan keinginan anak-anak muda. Padahal, sebagai pribadi yang berkehendak bebas, setiap anak punya kehendak dan kemauan sendiri, dan dia tidak berbahagia bila orang lain memaksakan kehendaknya atas dirinya.
C. Relasi antara keluarga dan masyarakat
Tidak ada keluarga yang berbahagia bila anggotanya hanya hidup dan bergaul dengan orang-orang serumah. Sejak kecil orang membutuhkan sosialitas, membutuhkan dunia pergaulan yang luas. Maka, demi kebahagiaan masing-masing anggota keluarga, perlulah bahwa mereka memiliki relasi yang baik dengan masyarakat luas.
Relasi itu mempunyai berbagai bentuk. Relasi-relasi yang paling biasa ialah relasi dalam hal kerja, bertetangga, ber-organisasi, dan beragama. Bila relasi-relasi itu berjalan lancar, anggota keluarga dapat mengalami kebahagiaan. Sebaliknya, bila terjadi banyak kegagalan dalam relasi-relasi itu, kebahagiaan hanyalah merupakan impian belaka.
Dalam hal ini para pendamping keluarga dapat memberikan bantuan, yakni dengan menolong keluarga-keluarga katolik dalam usaha meningkatkan mutu relasi antara anggota-anggota mereka dengan masyarakat luas. Lebih bagus lagi kalau para pendamping keluarga dapat menciptakan sarana-sarana penunjangnya, misalnya dengan menghidupkan bermacam-macam paguyuban, perkumpulan, pertemuan kebersamaan, atau bahkan organisasi-organisasi.
D. Relasi antara keluarga dan Tuhan
Salah satu dari tujuan utama pendampingan keluarga adalah berkembangnya iman. Oleh karena itu, tidak boleh dilupakan pentingnya relasi antara keluarga dan Tuhan. Relasi itu dapat dipelihara melalui tiga sarana utama berikut.
1. Doa pribadi yang teratur oleh masing-masing anggota keluarga, terutama sebelum dan sesudah tidur, sebelum dan sesudah makan;
2. Doa bersama di rumah, oleh seluruh keluarga, terutama pada saat ada anggota keluarga yang sedang merayakan hari ulang tahun, sedang bersedih, atau sedang menghadapi suatu tugas penting;
3. Partisipasi anggota keluarga dalam ibadat di lingkungan maupun di paroki, terutama dalam perayaan Ekaristi pada hari Minggu dan Hari-Hari Raya penting, seperti Natal dan Paskah. Sejak kecil anak-anak sebaiknya didorong untuk terlibat dalam kegiatan jemaat katolik setempat, sesuai dengan tingkat usia dan minat serta bakat mereka masing-masing. Semua anggota keluarga diharap menerima sakramen tobat secara teratur.
IV. PENGARAHAN PIMPINAN GEREJA
Sudah sejak awal sejarahnya, Gereja katolik memberikan pengarahan yang jelas mengenai pendampingan pastoral bagi keluarga-keluarga beriman. Namun dalam kesempatan ini, kiranya cukuplah kalau dikutipkan sebagian kecil dari pengarahan Gereja katolik sejak Konsili Vatikan II. Pengarahan Konsili Vatikan II tentang perkawinan dan hidup berkeluarga terutama termuat dalam dokumen “Gaudium et Spes”.
A. Konsili Vatikan II (”Gaudium et Spes” 1965)
“Hendaknya keluarga dengan kebesaran jiwa berbagi kekayaan rohani dengan keluarga-keluarga lain, ... baik melalui kasih suami-isteri ... maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya” (GS 48).
“Hendaknya kaum muda pada saatnya menerima penyuluhan yang sesuai tentang martabat cinta kasih suami-istri, tentang peranan dan pelaksanaannya, paling baik dalam pangkuan keluarga sendiri, supaya mereka, berkat pembinaan kemurnian, pada saat yang tepat dapat beralih dari masa pertunangan yang dilewati secara terhormat menuju perkawinan” (GS 49).
“Siapa saja, yang mampu mempengaruhi persekutuan-persekutuan dan kelompok-kelompok sosial, wajib memberi sumbangan yang efektif untuk mengembangkan perkawinan dan hidup berkeluarga ... Hendaknya umat beriman kristiani ...
dengan tekun mengembangkan nilai-nilai perkawinan dan keluarga ... Para pakar ilmu-pengetahuan, terutama di bidang biologi, kedokteran, sosiologi dan psikologi, dapat berjasa banyak bagi kesejahteraan perkawinan dan keluarga serta bagi ketenangan suara hati … bila mereka berusaha menjelaskan secara makin mendalam pelbagai kondisi yang mendukung pengaturan kelahiran manusia yang dapat dipertanggungjawabkan. Adalah tugas para imam, untuk … mendukung panggilan suami-istri dengan berbagai upaya pastoral, pewartaan sabda Allah, ibadat liturgis, maupun bantuan-bantuan rohani lainnya, dalam hidup perkawinan dan keluarga mereka. Adalah tugas para imam pula, untuk dengan kebaikan hati dan dengan sabar meneguhkan mereka di tengah-tengah kesukaran-kesukaran, serta menguatkan mereka dalam cinta kasih, supaya terbentuklah keluarga-keluarga yang sungguh-sungguh berpengaruh baik ... Himpunan-himpunan keluarga hendaknya berusaha meneguhkan kaum muda dan para suami-istri, terutama yang baru menikah, dengan ajaran maupun kegiatan, serta membina mereka untuk hidup berkeluarga, hidup memasyarakat, dan merasul …” (GS 52).
B. Para Uskup Indonesia (“Pedoman Pastoral” 1975)
“Dalam Pedoman Pastoral ini para Waligereja Indonesia bermaksud menggariskan beberapa kebijakan penggembalaan bersama, untuk membantu para suami-istri menunaikan tugas mereka, yang luhur dan besar pengaruhnya bagi masa depan Gereja dan bangsa ... Pedoman ini dimaksudkan khususnya bagi mereka yang bertugas atau berperanan di bidang pembinaan keluarga, para imam, biarawan-biarawati, maupun saudara-saudara lainnya”.
1. Penghayatan iman dalam keluarga :
“Para katekis, guru agama dan pewarta sabda perlu ditingkatkan pengetahuan serta kesadarannya ... Kader awam dalam umat setempat, para ketua wilayah atau lingkungan, hendaknya makin digiatkan dengan diserahi tugas dan tanggungjawab ... Hendaknya bagi muda-mudi tersedia kesempatan-kesempatan untuk mempersiapkan diri bagi hidup berkeluarga, dalam jangka panjang atau pendek ... Diharapkan bantuan juga dari lembaga dan biro konsultasi untuk masalah-masalah hidup berkeluarga; gerakan seperti Marriage Encounter ... dapat membantu mengembangkan sikap terbuka ... Dapat pula dibentuk kelompok-kelompok dengan tujuan meningkatkan pengetahuan agama dan penghayatan iman (CLC, Legio Maria, dan sebagainya)”.
2. Perkawinan beda agama :
“Kenyataan menunjukkan, bahwa perbedaan agama … dapat menimbulkan aneka macam persoalan ... Dan di antara soal-soal itu, makin lemahnya iman katolik serta kesulitan mendidik anak-anak dalam suasana katolik bukanlah masalah yang boleh dianggap ringan. Pemeliharaan pastoril terhadap perkawinan campur agama hendaknya diperhitungkan untuk jangka panjang dan bernada positif. Hendaknya katekese menekankan, bahwa kesamaan agama merupakan faktor penting untuk membangun kebahagiaan, persatuan dan keutuhan keluarga ... Dalam rangka ini pertemuan antara muda-mudi seiman – baik yang bersifat keagamaan ... maupun yang bersifat sosial ... – besar juga faedahnya. Hendaknya para orang tua ... maupun kaum muda disadarkan akan riilnya kesulitan yang dihadapi keluarga kawin campur ... Sebagai persiapan jangka pendek dianjurkan supaya pihak bukan katolik ikut menghadiri kursus persiapan (perkawinan) ... Apakah dispensasi diberikan atau ditolak, banyak tergantung dari keadaan setempat, lingkungan dan kondisi mereka yang memintanya. Dispensasi hanya diberikan, bila ada harapan, bahwa akan terbina suatu keluarga yang baik dan utuh, dan bahwa pemeliharaan pastoril sesudah pernikahan dapat diteruskan ... Pemberian dispensasi sebaiknya dipersulit, bila tipislah harapan, bahwa pihak katolik nanti akan mendapat kebebasan untuk menjalankan kewajibannya, dan/atau bila pihak katolik sendiri belum pasti akan menjalankannya. Sesudah pernikahan, keluarga-keluarga kawin campur harus mendapat perhatian sepenuhnya, antara lain berupa kunjungan pastor ... Pembaptisan anak harus dipikirkan terutama oleh pihak katolik”.
3. Kependudukan dan keluarga bertanggungjawab :
“Masalah kependudukan menyangkut banyak soal pastoril ... Sesuai dengan tugasnya, Gereja berusaha meyakinkan masyarakat akan pentingnya merencanakan hidup berkeluarga ... Pimpinan Gereja di Indonesia sepakat menyatakan perlunya pengaturan kelahiran demi kesejahteraan keluarga, dan karena itu merasa penting membina sikap bertanggungjawab di bidang ini. Maka baik kaum muda maupun kaum dewasa hendaknya diberi penyuluhan dan pendidikan tentang masalah kependudukan, dan dibimbing mencari pemecahan tanpa mengabaikan nilai-nilai manusiawi dan kristiani. Semua pembina umat diajak mengembangkan dan menyampaikan pendirian Gereja itu sebagai sumbangan untuk menghadapi masalah kepadatan penduduk ... Dalam rangka usaha mengadakan, menjarangkan atau membatasi kehamilan dan kelahiran-kelahiran baru, hendaknya metode-metode alamiah (penggunaan masa tidak subur) beserta segala perbaikannya lebih diperkenalkan dan dianjurkan ... Untuk mengatasi situasi konflik antara dua kewajiban, yang sering dialami oleh sementara suami-istri di negara kita, maka MAWI telah berusaha membantu dengan menyampaikan Penjelasan Pastoril 1972 ... Para imam diminta, supaya memberi bimbingan kepada seluruh umat, khususnya kepada suami-istri yang meminta keterangan dari mereka, dan kepada para tenaga medis setempat. Keterangan ini hendaknya disajikan dalam hubungan dengan ... ensiklik Humanae Vitae ... untuk situasi normal dan umum, dan Penjelasan Pastoril MAWI 1972 ... bagi mereka yang terjepit antara pelbagai kewajiban yang mendesak”.
4. Ekonomi rumah tangga :
“Membangun ekonomi rumahtangga bukan hanya soal mengurangi kemiskinan atau meratakan kekayaan, melainkan terutama menanamkan kesadaran akan arti hidup yang sungguh manusiawi ...Yang mau dicapai ialah : kesejahteraan semua dan setiap orang, serta peningkatan mutu hidup menurut kehendak Tuhan ... Perlu diperhatikan secara khusus mereka yang cenderung melarikan diri dari penderitaan ekonominya, dan mengharapkan penghiburan batin semata-mata.Begitu juga mereka yang mengharapkan suatu mukjizat meniadakan penderitaan ekonomi rumahtangganya ... Sejalan dengan usaha tadi, pandangan umat mengenai arti kerja ... perlu diubah pula ... Orang berwajib bekerja, serta berhak menerima imbalannya yang adil dan layak bagi jerih payahnya itu ... Dalam rangka ini pula para gembala umat dianjurkan, supaya mendorong dan menyemangati prakarsa umat, untuk bekerja sama menjalankan berbagai usaha ... Makin jelaslah kiranya, mengapa - di samping kegiatan-kegiatan yang sudah lazim dijalankan oleh para pekerja sosial – muncullah kebutuhan akan penyuluhan, bimbingan, ketrampilan serta peningkatan usaha-usaha produktif umat ... Makin jelas pula kiranya, bahwa dalam hal pembinaan ekonomi rumahtangga organisasi-organisasi umat yang ada dapat ikut serta pula melalui berbagai kesempatan atau kegiatan. Misalnya persatuan umat dalam wilayah atau kring dalam paroki, Wanita Katolik, ... Pemuda Katolik, dan sebagainya”.
C. Paus Yohanes Paulus II (“Familiaris Consortio” 1981)
“Kegiatan pastoral Gereja ... harus mengikuti keluarga, dengan menyertainya langkah demi langkah dalam berbagai tahap pembinaan dan pengembangannya”. (FC a.65)
1. Persiapan perkawinan :
“Persiapan jauh mulai pada masa kecil, dalam pendidikan keluarga bijaksana ... Masa itu adalah masa ketika penghormatan terhadap semua nilai manusiawi yang sejati ditanamkan … Atas dasar itu selanjutnya langkah demi langkah dilaksanakan persiapan dekat. Persiapan ini meliputi … pembinaan hidup beragama yang diintegrasikan dengan persiapan untuk hidup sebagai suami-istri … Persiapan terakhir … diadakan dalam bulan-bulan dan minggu-minggu terakhir sebelum pernikahan … Dalam kursus-kursus perkawinan (harus diusahakan) keseimbangan antara berbagai segi berkenaan dengan perkawinan …” (FC a.66).
2. Liturgi pernikahan :
“Perkawinan kristiani biasanya menuntut suatu perayaan liturgis yang mengungkapkan dalam bentuk sosial dan komunal ciri ekklesial dan sakramental dari perjanjian nikah antara orang-orang yang telah dibaptis. Karena merupakan suatu tindakan pengudusan ... maka liturgi pernikahan haruslah ... sah, patut, dan berbuah” (FC a.67).
3. Reksa pastoral sesudah pernikahan :
“Reksa pastoral untuk keluarga berarti usaha semua anggota jemaat setempat untuk membantu suami-istri menemukan dan menghayati panggilan dan perutusan mereka ... Agar keluarga makin menjadi persekutuan cinta kasih sejati, perlulah semua anggotanya dibantu dan dilatih dalam tanggungjawab mereka ketika menghadapi masalah-masalah baru yang muncul, dalam semangat saling melayani dan berperan-serta secara aktif dalam hidup keluarga. Hal ini terutama benar untuk keluarga-keluarga muda, yang ... lebih rentan, terutama dalam tahun-tahun pertama perkawinan, terhadap kesulitan-kesulitan yang mungkin timbul, seperti yang ditimbulkan oleh penyesuaian diri dalam hidup bersama atau oleh kelahiran anak-anak ... Gereja harus ... membantu mereka menghayati cinta kasih suami-istri secara bertanggung jawab ... Gereja harus tetap dekat dengan para bapak-ibu itu agar mereka menerima dan mengasihi anak-anak mereka sebagai anugerah dari Tuhan kehidupan” (FC a.69).
D. Kitab Hukum Gereja Katolik (kanon 1063)
“Para gembala umat wajib mengusahakan agar komunitas Gerejawi masing-masing memberikan bantuan kepada umat beriman kristiani, supaya hidup perkawinan dipelihara dalam semangat kristiani serta berkembang dalam kesempurnaan. Bantuan itu terutama harus diberikan :
1. dengan kotbah, katekese yang disesuaikan bagi anak-anak, kaum muda, serta dewasa, juga dengan menggunakan alat-alat komunikasi sosial, agar dengan itu umat beriman mendapat pengajaran mengenai makna perkawinan kristiani serta mengenai tugas suami-istri dan orang tua kristiani;
2. dengan persiapan individual untuk menikah, supaya dengan itu mempelai disiapkan untuk kesucian dan tugas-tugas kedudukannya yang baru;
3. dengan perayaan liturgi perkawinan yang bermakna agar dengan itu tampak bahwa suami-istri menandakan serta mengambil bagian dalam misteri kesatuan dan cintakasih yang subur antara Kristus dan GerejaNya;
4. dengan bantuan yang diberikan kepada suami-istri, agar mereka dengan setia memelihara serta melindungi perjanjian perkawinan itu, sampai pada penghayatan hidup di dalam keluarga yang semakin hari semakin suci dan semakin penuh”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar